Kesenian Ujungan: Sebuah Ritual Meminta Hujan

Ditulis Oleh Admin Bidang Pemasaran

Oktober 28, 2024

Di tengah hamparan sawah yang mengering saat kemarau panjang, sebuah tradisi unik dan penuh makna mewarnai kehidupan masyarakat Kecamatan Susukan, Banjarnegara. Upacara tradisional Ujungan, sebuah ritual meminta hujan, menjadi harapan terakhir bagi para petani untuk mendapatkan anugerah air dari langit.

Ujungan, yang berarti “ujung” atau “ujung rotan”, merupakan adu fisik antara dua orang pria dewasa menggunakan rotan sebagai senjata. Namun, di balik aksi adu fisik yang tampak keras, terdapat filosofi mendalam dan harapan kolektif masyarakat akan turunnya hujan. Ujungan juga dilaksanakan pada penghujung musim panen, setelah panen padi terakhir, sebelum musim hujan turun.

   

Asal usul Ujungan

Kesenian ujung sebagai tradisi yang telah ada selama berabad-abad setidaknya telah melintasi empat zaman berbeda. Di setiap zamannya, ujung memiliki fungsi dan makna berbeda. Menurut Sri Waluyo Widodo seorang Kemelandang dari  Desa Salen, Kecamatan Bangsal Kab. Mojokokerto, pada awal kemunculannya di era sebelum Mapajahit, ujung merupakan alat ritual memanggil hujan. Darah yang mengucur dari pemain yang saling mencambuk adalah simbol tetesan air. ”Dulu kalau minta ke Sang Hyang Widhi mengadakan ritual dengan saling mencambuk sehingga keluar darah. Karena minta hujan, dikabulkan sehingga air turun,” ungkap pemilik kelompok kesenian ujung Moyang Wijaya itu.

Dalam perkembangannya, tradisi ujung juga menjadi ajang adu kekuatan prajurit Kerajaan Majapahit. Konon, para ksatria menguji ilmu kanuragan lewat pertandingan ujung atau saling cambuk. ”Itu perbedaan zaman saja. Sebelum Majapahit jadi ritual, kalau zaman Mapajahit ada tradisi untuk menjajal kekuatan,” jelas pria yang sejak 1985 sudah menjadi kemelandang tersebut.

Kesenian ujung kelak dimainkan dari generasi ke generasi. Pelestari kesenian ujung biasanya berlangsung secara turun temurun. Hingga beberapa puluhan tahun silam, permainan ujung masih menjadi ajang adu kehebatan. Permainan ujung mengeluarkan siapa yang terhebat dan tak terkalahkan. Lambat laun, kesan kekerasan dalam permainan ujung mulai dikikis.

Seiring perkembangan zaman, kata Widodo, citra kesenian ujung dipoles murni sebagai kesenian adu ketangkasan tanpa mencari pemenang. ”Baru 15 tahun terakhir ini, karena perkembangan zaman, kita ubah image itu. Ujung murni suatu kesenian dan tidak memakai ilmu kanuragan. Sekarang ilmu kanuragan, meskipun masih ada, tetapi tidak kita lihatkan,” jelas generasi ketiga keluarga pelestari seni ujung tersebut.

Di zaman ini, yang ditonjolkan dalam kesenian ujung adalah kemampuan membonggol dan menangkis. Pemain ujung bahkan tidak ada yang saling dendam meskipun di atas panggung saling pukul. Permainan ujung digelar dalam berbagai kegiatan.

Seperti ruwatan desa hingga acara hajatan. Para pemain datang dari berbagai daerah. Peminat kesenian ujung datang dari beragam kalangan usia. Bahkan, anak-anak di Desa Salen pun sudah belajar menjadi pemain ujung dan kemelandang. ”Kalau untuk generasi penerus sepertinya tidak akah habis. Karena sekarang yang kecil-kecil pun sudah banyak yang ikut,” ungkap Kades Salen Suyanto.

Di Banjarnegara, kesenian Ujungan hanya terdapat di kecamatan Susukan. Di kecamatan lain, terdapat ritual pemanggilan hujan namun dengan nama yang berbeda, seperti Cowong di Kecamatan Pagedongan dan Brendungan di Kecamatan Kalibening. Ada beberapa kemiripan Kesenian Ujungan di Banjarnegara dengan di Mojokerto antara lain, dari nama Ujung/Ujungan, sebuah ritual pemanggilan hujan, wasit dinamai Kemelandang/Landang, pemukulan rotan di bagian kaki, bahan pemukul sama-sama rotan, bukan merupakan kejuaraan namun merupakan permainan.

Kesenian Ujungan dahulu, pada awal abad 19 M atau saat perang Diponegoro merupakan kamuflase dari latihan beladiri. Saat itu jika diketahui pemerintah Belanda, akan dibubarkan. Awalnya masyarakat melakukan Ujungan di persawahan setelah panen. Sebelum tahun 1970-an, pemukulan rotan dapat dilakukan di bagian tubuh, tetapi setelah tahun 1970-an pemukulan hanya boleh dilakukan di bagian kaki. (Edi Sutrisno: Landang Kemranggon). Hal ini juga terjadi di kesenian Ujung di Mojokerto. Terdapat perubahan peraturan terhadap area pemukulan rotan di bagian tubuh.

 

Proses Pelaksanaan Upacara

Upacara Ujungan biasanya dilaksanakan pada hari Jumat, saat dipercaya sebagai hari yang mustajab untuk berdoa. Sebelum pelaksanaan, dilakukan persiapan yang matang, mulai dari pemilihan peserta, pembuatan rotan, hingga persiapan musik gamelan sebagai pengiring.

Saat upacara dimulai, kedua peserta akan saling berhadapan, diiringi oleh lantunan gamelan yang menggelegar. Dengan semangat juang yang tinggi, mereka saling memukul dengan rotan, namun hanya pada bagian kaki dari lutut ke bawah. Setiap pukulan yang mengenai sasaran akan memunculkan darah, yang dipercaya sebagai simbol pengorbanan untuk memohon hujan.

Pertarungan akan terus berlangsung hingga salah satu peserta menyerah atau dianggap kalah oleh wasit. Darah yang keluar dianggap sebagai tumbal untuk memohon hujan. Masyarakat percaya, semakin banyak darah yang keluar, semakin cepat pula hujan akan turun.

Luka-luka akan di sembuhkan dengan ramuan tradisional yaitu tumbukan batang sereh dicampur dengan minyak kelapa.

 

Makna Filosofis

Di balik aksi adu fisik yang tampak keras, terdapat makna filosofis yang mendalam dalam upacara Ujungan.

  • Kerasnya tulang, kuatnya kulit: Ungkapan ini menggambarkan semangat pantang menyerah dan ketahanan masyarakat dalam menghadapi kesulitan.
  • Pengorbanan: Darah yang keluar diartikan sebagai simbol pengorbanan untuk kebaikan bersama, yaitu agar hujan segera turun.
  • Harmoni dengan alam: Upacara Ujungan menunjukkan hubungan erat manusia dengan alam. Masyarakat memohon kepada Sang Pencipta untuk memberikan hujan sebagai sumber kehidupan.

 

Nilai-nilai yang terkandung

  • Gotong royong: Upacara Ujungan melibatkan seluruh masyarakat, menunjukkan semangat gotong royong yang tinggi.
  • Kesabaran: Masyarakat diajarkan untuk sabar menunggu datangnya hujan setelah melakukan ritual.
  • Kepercayaan terhadap kekuatan supranatural: Upacara ini menunjukkan keyakinan masyarakat terhadap kekuatan di luar nalar manusia.

 

Upacara Ujungan sebagai Warisan Budaya

Upacara Ujungan bukan hanya sekadar ritual meminta hujan, tetapi juga merupakan warisan budaya yang perlu dilestarikan. Tradisi ini mengajarkan nilai-nilai luhur seperti gotong royong, kesabaran, dan penghormatan terhadap alam.

 

Pelestarian Upacara Ujungan

Agar upacara Ujungan tetap lestari, diperlukan upaya pelestarian yang berkelanjutan. Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain:

  • Pendidikan: Menyadarkan generasi muda tentang pentingnya melestarikan budaya lokal.
  • Dokumentasi: Mendokumentasikan secara lengkap proses pelaksanaan upacara Ujungan.
  • Pengembangan pariwisata: Memanfaatkan upacara Ujungan sebagai daya tarik wisata yang unik dan berkelanjutan.

 

Penutup

Upacara Ujungan di Kecamatan Susukan, Banjarnegara, adalah contoh nyata bagaimana tradisi dapat menjadi perekat sosial dan memberikan harapan bagi masyarakat. Dengan memahami makna dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, kita dapat lebih menghargai kekayaan budaya bangsa.

(Aryadi/Phadma)

[supsystic-social-sharing id='1']

Berita Terkait……

Link Unduh Banjarnegara Travel Map

Link Unduh Banjarnegara Travel Map

Banjarnegara Travel Map kini hadir untuk memudahkan wisatawan dalam berwisata di Banjarnegara✨️ Tersedia gratis dan...

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *